Migrasi dan Invasi

dari Madura hingga Romawi;
di bentangan Gumuk-Gumuk dan Pegunungan Alpen

Penulis: Abi Muhammad Latif

Migrasi Orang-Orang Madura ke Jember

Kemiskinan di Pulau Jawa, khususnya Madura pada abad-19, mendorong terjadinya migrasi ke wilayah lain. Motifnya adalah memperbaiki taraf hidup. Penduduk melakukan migrasi ke daerah yang jarang penduduknya.

Migrasi etnis Madura ke Jawa Timur telah berlangsung sejak lampau. Pola migrasi orang-orang Madura berawal dari para migran datang ke tempat tujuan secara berkelompok kecil antara 10-15 orang, mereka melewati Sumenep Kalianget kemudian menyeberangi Selat Madura singgah di pelabuhan Panarukan. Selanjutnya dari Panarukan menuju Bondowoso atau Situbondo untuk menetap sementara di daerah pantai, kemudian mereka menuju Jember utara. Dari Jember utara terus ke Jember selatan, di Jember selatan mereka membuka hutan dan mendirikan desa-desa Madura seperti Jenggawah, Cangkring dan yang lain. Pada tahun 1806 diketahui telah ada desa-desa orang Madura, sama seperti yang didirikan di Jenggawah, Cangkring, Muktisari yang terletak di Jember Selatan. Di Pasuruan ada 3 desa, dan di Probolinggo ada 22 desa.

Undang-undang Agraria 1870 yang dikeluarkan Hindia Belanda, disambut baik oleh pengusaha swasta di Jember. Banyak perkebunan tembakau dan tebu dibuka dan membutuhkan tak sedikit pekerja. Sebab tanah Madura yang kering, gersang, tidak subur, dan mengandung kapur, ribuan orang Madura berdatangan setiap tahunnya ke Jawa Timur untuk menjadi pekerja perkebunan. Gelombang migrasi orang Madura ke daerah Jember berawal dari usaha NV LMOD (NV Landbouw Maatscappij Oud Djember) yang membutuhkan tenaga kerja untuk dijadikan pekerja di perkebunannya. Migran Madura sebagian besar menetap di Kawasan Jember bagian Utara (Distrik Kalisat, Jember, dan Mayang).

Goa Gumuk yang melipat ruang dan waktu

Dalam upaya menetap di Jember, para migran membabat hutan dan gumuk. Kemudian mereka membangun tempat tinggal untuk kelompok kecil mereka. Peradaban manusia di gumuk maupun hutan lama kelamaan terbentuk seiring mereka beranak-pinak dan membawa migran lain dari kampung halaman.

Tak sedikit, di gumuk-gumuk Jember ditemukan goa yang memiliki mitos spiritual; goa ini dapat membukakan jalan (melipat ruang dan waktu) hingga ke Madura. Jember dan Madura berada di dua pulau berbeda, Jember berada di Pulau Jawa bagian timur, sementara Madura adalah pulau tersendiri di sebelah timur laut Pulau Jawa. Mereka dipisahkan oleh laut.

Sebagian orang percaya bahwa untuk melakukan perjalanan metafisik dari Jember menuju Madura melalui goa, syaratnya mengamalkan tirakat/lelaku yang berkaitan dengan mengendalikan atau mengekang hawa nafsu. Jika tirakat ini berhasil, maka dipercaya seseorang dapat melakukan perjalanan menuju Madura dengan sekejap mata.

Di atas Gumuk Mandireh, Dusun Cora Lembu, Desa Plalangan, terdapat goa yang dapat mengantarkan perjalanan ke Madura. Berdasarkan ingatan Abu Saini atas kesaksian bapaknya, Bapak masuk melalui mulut goa itu, ada 3 tahapan (ruang), jika tirakat pertama diterima, maka bisa lanjut ke tahap/ruang kedua, dan seterusnya. Jika sudah berhasil melalui 3 tahapan tirakat goa di Gumuk Mandireh, maka si Gendik, seekor kuda laki-laki dengan rambut dan janggut yang panjang serta alis yang dijadikan sorban akan menjemput, dan mengantarkan perjalanan spiritual (hingga fisikal) ke Goa Payudan / Pajudan, Sumenep Madura.

Orang-orang mengatakan perjalanan ke Madura hanya sekejap mata, padahal untuk melakukan perjalanan spiritual (hingga fisikal) dari Jember ke Madura membutuhkan waktu perjalanan lebih dari satu dekade. Bapak melakukan perjalanan spiritual dari Gunung Mandilis (Taman Nasional Meru Betiri), bersemedi di sungai hingga 15 tahun. Saat ia tersadar, celana telah dipenuhi lumut, ketika diseka, kain celananya pun rontok. Rambutnya telah panjang sepinggang. 15 tahun terasa seperti satu minggu, kenangnya.

Bapak berhasil keluar di Goa Gumuk Mandireh setelah bertapa selama 20 tahun. Ia keluar dengan membawa keris yang dibalut kain dan diikat dengan akar. Ia kemudian didatangi banyak tamu (pasien) untuk meminta obat. Ketika harus mencari obat, seketika ia masuk ke mode trans, terkadang menunggangi tanaman pagar ataupun bunga tanpa tanaman tersebut hancur tertindih (secara spiritual ia menaiki kuda), terkadang juga ia mendaki gumuk dan menghilang. Ia sukses menurunkan ilmu pengobatan kepada Abu Saini, anaknya yang ketiga. Ia meninggal di usia tak kurang dari 100 tahun.

Romawi dan “Tembok Italia”

Persepsi Middle-Republican tentang ide pegunungan Alpen sebagai “tembok Italia” menjadi salah satu factor yang membuat kerajaan Romawi berkuasa dalam waktu yang lama. Upaya melintasi pegunungan Alpen untuk menyerang Romawi adalah peristiwa superhebat yang pasti diperbincangkan oleh banyak sejarawan dalam waktu lama. Salah satunya adalah Hannibal Barca, komandan militer dari kerajaan Kartago di Perang Punisia Kedua.

Perlintasan Pegunungan Alpen oleh Hannibal pada tahun 218 SM merupakan salah satu peristiwa penting dalam Perang Punisia Kedua, dan salah satu pencapaian yang paling dirayakan oleh pasukan militer mana pun dalam peperangan kuno. Hannibal memimpin pasukan Kartago melintasi Pegunungan Alpen dan masuk ke Italia untuk membawa perang langsung ke Republik Romawi, melewati garnisun darat Romawi dan sekutu, serta dominasi angkatan laut Romawi.

Selain Hannibal, sebenarnya beberapa orang/kelompok juga berhasil melintasi pegunungan Alpen, misalnya migrasi orang-orang Galia (189 SM), pengejaran Charlemagne atas bangsa Lombard (772 Masehi) serta (propaganda) Napoleon (1800). Ada juga kisah tak kalah mengejutkan dari Oetzi the Iceman, mayat seorang pendaki yang terawetkan dengan baik oleh iklim Alpen selama kurang lebih 5000 tahun di hulu sungai Oetztal. Ia ditemukan oleh turis pada 1991. Dia hanya mengenakan sedikit kain pinggang dan mantel yang terbuat dari rumput, beralas kaki yang terbuat dari kulit beruang (untuk sol) serta kulit rusa (untuk bagian atas). Dia juga ditemukan dengan kapak berkepala tembaga, busur panjang, panah, dan pisau. Hingga yang terbaru (2016) adalah berhasilnya Swiss membuat terowongan kereta terpanjang menembus tubuh Alpen, membelah Eropa Barat ke Timur.

Narasi melintasi Alpen menjadi begitu dominan, seakan peristiwa menaklukkan bagian alam terlarang yang tak tertandingi. Padahal, dibalik “penaklukan”, ada konsekuensi tubuh alpen yang dirusak, dihancurkan, demi peradaban manusia yang praktis. Bagaimana jika perspektif subjek-objek antara Kerajaan Romawi dan Alpen dibalik? Bukan “Romawi memiliki benteng alami”, tetapi “Alpen memiliki jari kaki yang terbuat dari besi.” Atau, Pegunungan Alpen dan Kerajaan Romawi sedang piknik dan membicarakan tentang siapa menguasai siapa.

Referensi:

Pekerja Tembakau dan Mesin pengepres tembakau di perusahaan Soekowono di kediaman Besoeki. Dokumentasi: KITLV (1910).

Gudang penyortiran perusahaan tembakau Soemberbahroe, Djatiroto – Djember. Dokumentasi: KITLV (1920).

Goa di puncak Gumuk Mandireh. Dokumentasi: Abi Muhammad Latif.

“Pintu Kedua” Goa. Dokumentasi: Studio Klampisan.

Hannibal Barca. “Römische Geschichte” Mommsen.

Hannibal dan pasukannya melintasi Pegunungan Alpen, Heinrich Leutemann.