Ulupampang Menanam

Pelabuhan Ulupampang (sekarang Muncar) Banyuwangi merupakan titik perjumpaan yang dimanfaatkan Eropa – Inggris dan Belanda pada era kolonialisme, untuk menjalankan praktik politik dan perdagangan.
Pelabuhan yang menjadi bagian dari kerajaan Blambangan ini pernah menjadi saksi terjadinya pertukaran kultur dan hasil bumi. Di tengah pergolakan sistem lahan—Cultuurstelsel, kerja paksa—Jalan Raya Pos / Jalan Daendels, dan sistem administrasi pemerintahan di bawah penjajahan Belanda, Jawa menjadi buruh di tanahnya sendiri. Sementara Blambangan pernah sulit sekali ditaklukkan. Blambangan adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa sekaligus kerajaan pemeluk Islam terakhir di Indonesia.
Kami akan menanam kesaksian Ulupampang pada lima desa di Banyuwangi yang memiliki narasi masa lalu terkait peta-politik Jawa-Eropa dengan tujuan mendesentralisasi narasi dan ruang sebagai jalan napak tilas yang tidak tunggal. Penanaman kesaksian (situs) ini dilakukan pada ruang publik di lima desa, harapannya memunculkan kemungkinan yang hibrid dan meminimalisir konflik identitas.

Produser,

Abi Muhammad Latif

Siapakah sejarah? Apakah sejarah berhenti dalam sebuah konstruksi?
Ketika sebuah situs hancur karena perang, bencana maupun wabah — dan arsip-arsipnya ikut hancur, tidak lantas seluruh data dari situs itu hancur. Kehidupan terus berlangsung, tradisi berlanjut dalam bentuk upacara, pernikahan, permainan, kesenian. Berbagai bentuk produk budaya dari tradisi itu berlanjut kembali: pertanian, makanan, pakaian, peralatan kerja, bangunan dan dongeng- dongengnya. Semua data hidup dari tradisi ini merupakan memori kolektif dari
komunitas sejarah, dan terus berdialog menghadapi tantangan-tantangan baru. Ia menjadi gambaran lain dari pembekuan sejarah dalam konstruksi nasionalisme maupun intervensi pengaruh- pengaruh lain dan industri pariwisata.
Lima desa atau kampung (Desa Bayu, Glenmore, Singonegaran, Tembokrejo dan Kampung Mandar) merupakan situs spesifik Banyuwangi yang jadi pantulan “komunitas sejarah” dalam program Studio Klampisan Banyuwangi ini. Komunitas sejarah dari ke lima desa atau kampung ini, dipaparkan kembali dalam beberapa program seni dan diskusi: mencari metode-metode partisipatif maupun lintas disiplin dalam membentuk kebersamaan maupun dalam pembacaan sejarah yang tidak dogmatis.

Kurator,
Afrizal Malna

Dapur imajinasi mama

Sejarah tenaga kerja indonesia (TKI) di luar negeri dimulai pada era kolonialisme Belanda melalui penempatan buruh kontrak ke negara Suriname, Amerika Selatan. tujuannya adalah menggantikan budak asal Afrika yang telah merdeka. kuli kontrak (TKI) ini diambil dari suku Jawa, Madura, Sunda, dan Batak. Mereka dipekerjakan di perkebunan di Suriname.

Rendahnya tingkat perekonomian penduduk Jawa akibat meletusnya Gunung Merapi dan padatnya penduduk di Pulau Jawa, menjadi dasar pemerintah Belanda memilih TKI asal Jawa. pekerjaan ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka dan mengesahkan Undang-Undang tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Berdasarkan data badan perlindungan pekerja migran Indonesia (BP2MI), Jawa Timur adalah provinsi terbanyak pengirim pekerja migran indonesia. dan Kabupaten Banyuwangi termasuk 5 kantong terbesar pemasok buruh migran se-Jawa Timur, khususnya tenaga kerja wanita.

Klampisan adalah daerah perbatasan dua desa di Banyuwangi bagian Selatan. daerah ini memiliki potensi alam yang cukup baik di bidang agraria, khususnya padi, jagung, buah naga, dan jati. namun banyak perempuan Klampisan memilih bekerja ke luar negeri. hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan warga dan pendapatan petani. hampir seluruh buruh migran perempuan memutuskan menjadi domestic workers karena profesi ini tidak membutuhkan skill kerja yang mapan. perempuan di Klampisan, sedari kecil telah akrab dengan pekerjaan domestic, salah satunya adalah hal-hal tentang dapur.

Dapur adalah salah satu ruang penting bagi pembantu rumah tangga migran. dapur menjadi ruang kerja, ruang yang terkoneksi secara organik setelah melalui serangkaian adaptasi dan proses sensor.

Dalam jurnal pawon dalam budaya jawa (sumintarsih, 2006), pawon (dapur) dibicarakan melalui sudut pandang spasial, bentuk, dan filosofi. diantaranya; dapur adalah bangunan tambahan atau bukan bangunan pokok/penting, tidak ada unsur kepercayaan mengenai letak dan arah bangunan dapur, dapur adalah bagian rumah yang paling lemah sebab tempat wanita, dan lain sebagainya.

Beberapa pendapat dan teori di atas mengacu pada diskriminatif dan seksisnya Kebudayaan Jawa atas narasi dapur. hal ini berbanding terbalik dengan survivalitas pembantu rumah tangga migran perempuan yang memposisikan dapur sebagai arena utama mereka bertahan hidup.

Latar belakang di atas memantik kami untuk menggagas platform “dapur imajinasi mama”. platform ini terdiri dari diskursus, karya video 360 derajat, dan penerbitan artikel kritik online.

platform ini berupaya mengupas narasi ketenagakerjaan Indonesia terkait survivalitas pembantu rumah tangga migran perempuan dan dapur sebagai ruang.
Diskursus berformat focus group discussion akan berupaya mengupas dan memantulkan sejarah dan kenyataan masa kini terkait kebudayaan Jawa tentang dapur dan perempuan, kebijakan yang melemahkan pekerja domestik migran perempuan, serta strategi pemberdayaan dan penempatan TKW pasca kepulangan. sementara penerbitan artikel kritik online akan mengkritisi bagaimana kebudayaan Jawa mendiskreditkan peran perempuan dan dapur. dan yang terakhir, karya video 360 derajat akan melibatkan pembantu rumah tangga migran perempuan Klampisan, Banyuwangi yang sedang/pernah bekerja di berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Arab Saudi. karya ini adalah eksperimentasi laboratorium warga yang melacak hubungan survivalitas pekerja migran perempuan dengan dapur sebagai ruang. eksperimen ini akan mengolah narasi survivalitas, arsitektur, lintas budaya dan citarasa, serta materialisme dalam modus kerja mengimajinasikan dapur ideal pembantu rumah tangga migran perempuan klampisan.
Peristiwa-peristiwa di atas akan menggunakan strategi keluar-masuk / lokal-global dengan bentuk komunikasi antarwajah; wajah dapur lokal (dapur mereka masing-masing di rumah) dengan wajah dapur ideal versi mereka (dapur yang telah dikonstruksi dengan brand, bentuk, dan budaya dari luar negeri), serta bahasa lokal dengan bahasa yang digunakan saat mereka bekerja di luar negeri.
Multiple Platform
video performance 360°
diskursus ketenagakerjaan perempuan Indonesia
publikasi online artikel kritik

Platform ini bertujuan memproduksi pengetahuan baru dalam ranah kesetaraan gender dan survivalitas pekerja domestik migran perempuan khususnya bagi bangsa-bangsa pascakolonial. Platform ini juga berupaya menawarkan perspektif lain atas kebudayaan Jawa yang menganggap dapur (dan perempuan) sebagai hal yang tidak penting dalam perspektif spasial dan fungsi/peran.