Paceklik: Jagung yang Terbakar

Work In Progress

Di tahun yang sibuk menyambut krisis, pemerintah Indonesia gencar mengalokasikan dana untuk program food estate. Secara singkat food estate adalah lumbung pangan yang digembor-gemborkan untuk persediaan pangan negara dalam menghadapi krisis. Namun pada praktiknya, masih tampak aroma penjajahan ala cultuurstelsel yang dilakukan Belanda saat menjajah Indonesia. Sewa dan tanam “paksa” diberlakukan lagi. Presiden meminta ribuan kepala desa untuk bernegosiasi dengan petani dan pemilik lahan sehingga mereka sulit untuk menolak atas embel-embel “demi negara”. Yang paling menjengkelkan, penggarap lahan pertanian adalah militer, bukan petani.

Jagung adalah simbol masyarakat Indonesia bertahan hidup atas kemiskinan – simbol kelaparan. Jagung pernah menjadi alat politik beberapa presiden Indonesia terdahulu untuk mendinginkan ketegangan rakyat atas krisis.

Sebelum Revolusi Hijau, padi adalah tanaman yang mahal dan eksklusif. Masyarakat Indonesia bagian timur tidak memakan nasi, tetapi jagung. Nasi jagung adalah makanan pokok masyarakat miskin disini, terutama wilayah yang tanahnya cenderung kering dan tidak cocok untuk ditanami padi.

Praktik biofuel seperti membuka pintu ketimpangan sosial yang berkelanjutan. Negara dunia ketiga, hanya akan menjadi lahan segar, tempat kapital menanam uangnya. Sementara kelaparan tidak pernah benar-benar selesai disini.

Melihat fenomena biofuel – jagung dibakar dan menggerakkan mobil, membuat kami mempertanyakan ulang tentang kesejahteraan. Apakah mobilitas telah jauh lebih berharga dibandingkan kelaparan? Apakah mobilitas tercipta hanya melalui pembakaran? Nyatanya, mobilitas kerja (materialisme historis) masyarakat miskin mengolah jagung menjadi makanan pokok telah membawa kami ke taraf hidup yang lebih baik. Jagung yang kami makan, membuat kami menggerakkan tulang dan sendi-sendi kami.

Working Team

production manager: Dayu Prisma

text: Abi Muhammad Latif, Putra Yuda

director: Abi Muhammad Latif

dramaturg: Putra Yuda

lighting designer: Fajar Dwi J

sound designer: Dedek Sutejo

performer: Aditya Prasta, Dayu Prisma, Dedek Sutejo

speaker: Abu Bakar Ramadhan (dosen dan peneliti pascakolonialisme), RZ Hakim (pemerhati sejarah)

supported by RKB, Teater Geniwara Universitas Bojonegoro, Imasind, DKK FIB Universitas Jember

Foto abc

foto def