Arsitektur Dapur pada Kebudayaan Jawa

Ruang Dualisme dan Gender dalam Rumah Arsitektur Jawa

Dalam arsitektur vernakular Jawa, orang Jawa percaya bahwa kosmos terdiri dari berbagai elemen yang berlawanan – surga dan bumi, kiri dan kanan, siang dan malam, terang dan gelap, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dualisme menunjukkan keadaan dua bagian, wujud ganda; yang mengacu pada divisi ganda atau sistem pemikiran yang mengakui dua prinsip independen. Oposisi biner antara dua elemen merupakan konsep penting untuk memahami prinsip kosmologis. Orang Jawa percaya bahwa kosmos dibentuk oleh dualisme ini, yang juga merupakan sifat esensial dari budaya Indocina. Biner-biner yang berlawanan ini perlu ditempatkan, diatur secara harmonis dan seimbang, untuk mendapatkan keseimbangan kosmologis. Dalam arsitektur Jawa, dualisme kosmologis ini mengungkapkan metafora dan simbolisme spasial, untuk menjelaskan struktur oposisi dalam lingkungan orang Jawa yang telah terbangun. 

Dalam hal itu, orang-orang Jawa memandang rumah-rumah mereka sebagai mikrokosmos dari semesta alami, sehingga mereka mencari keseimbangan dalam desain rumah (Frick, 1997; Tjahjono, 1989; Prijotomo, 1992; Himasari, 2011). Konsep Dualisme ini menjadi dasar untuk melihat arsitektur Jawa melalui perspektif filosofi. Dalam praktiknya, hal ini berimbas kepada bagaimana urutan, bentuk, dan aktivitas rumah-rumah Jawa dikonstruksi. Rumah menjadi interaksi dialektikal dari hal-hal berlawanan, di mana keseimbangan dijaga melalui pembagian, representasi, dan fungsi spasial. Pembagian spasial dalam rumah Jawa terdiri dari emper/pringgitan, ndalem, senthong, gadri mburi omah, dan gandhok. Di rumah bangsawan atau orang yang memiliki posisi sosial tinggi, terdapat satu ruang lagi yakni pendopo (Budiana Setiawan, 2010). Setiap ruangan dibuat untuk memenuhi kebutuhan dari pemilik rumah. Dalam arsitektur vernakular Jawa, orang Jawa percaya bahwa kosmos terdiri dari berbagai elemen yang saling berlawanan–surga dan bumi, kiri dan kanan, siang dan malam, terang dan gelap, dan sebagainya. Konsep dualisme menunjukkan keadaan dua bagian, wujud ganda; yang mengacu pada divisi ganda atau sistem pemikiran yang mengakui dua prinsip independen. Oposisi biner antara dua element merupakan konsep penting untuk memahami prinsip kosmologis. Orang Jawa percaya bahwa kosmos terbentuk oleh dualisme-dualisme ini, yang juga merupakan sifat esensial dari budaya Indocina. Biner-biner yang berlawanan ini perlu ditempatkan, diatur secara harmonis dan seimbang, untuk mendapatkan keseimbangan kosmologis. Dalam arsitektur Jawa, dualisme kosmologis ini mengungkapkan metafora dan simbolisme spasial, untuk menjelaskan struktur oposisi dalam lingkungan orang Jawa yang telah terbangun.

Gambar 1. Pembagian spasial dalam rumah-rumah Jawa tradisional (Sumber. Revianto Budi Santosa, , diambil dari rumah Joko Nugraho di Kota Gede, Yogyakarta 2018)

Konsep penting lain dalam arsitektur Jawa yakni hierarki. Rumah Jawa utamanya disusun menurut pengaturan linier dan sentripetal, yang memerlukan prinsip dualitas dan pemusatan (Prijotomos, 1984). Rumah Jawa memiliki corak ruang yang memiliki arti berlawanan, seperti dalam/luar, perempuan/laki-laki, barat/timur namun kesemuanya ternetralkan dan tersatukan oleh sebuah pusat. Lebih lanjut, rumah Jawa juga dibagi menjadi bagian depan dan belakang, yang masing-masing menggambarkan bagian laki-laki dan perempuan, serta dalam wayang menggambarkan diri dan orang lain (Santosa, 2000). Batasan-batasan di dalam rumah, dibentuk sebagai garis, dinding, yang memisahkan ruang dalam dan luar, dan pringgitan berfungsi sebagai titik pusat dari pembagian ruang. Ruang transisional ini secara metafor menggambarkan transisi dari ruang semesta ke ruang manusia. Ia berfungsi untuk memperjelas arti dari dualitas dan arah (Cairns, 1997; Mangunwijaya, 1992; Supriyadi, 2010). 

Sebagai contoh, konsep dualitas terejawantahkan dalam garis sumbu utara-selatan yang memiliki hubungan antara ruang-ruang senthong, ndalem, pringgitan, pendopo, dan emperan. Ruang depan terbuka, terang, dan memiliki lantai yang rendah. Sebaliknya, ruang belakang tertutup, gelap, dan memiliki lantai yang tinggi. Berdasarkan garis sumbu rumah, dominasi dari ruangan tertentu dapat dibedakan berdasarkan gender. Dapur (pawon) merupakan tempat yang didominasi perempuan, sedangkan balai merupakan tempat yang didominasi laki-laki. Oleh karena itu, ruang ndalem dan senthong menjadi pusat yang digunakan sebagai ruang harmonisasi yang dapat digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Di ndalem juga terdapat pembagian lebih jauh berdasarkan dominasi gender. Bagian barat ndalem digunakan oleh perempuan, sedangkan timur oleh laki-laki. Bagian tengah dari ndalem digunakan sebagai ruang harmonisasi yang dapat digunakan keduanya (Gunawan Tjahjono, 1990). Hasilnya, peran sosial dan kultural dari laki-laki dan perempuan terkonstruksi terutama dalam ruang domestik (Handayani dan Sugiarti, 2001). Di rumah Jawa, konteks gender dapat dilihat dari penyusunan ruang-ruangnya, dalam bentuk pemisahan menurut dominasi gender. Pemisahan spasial ini berhubungan dengan peran dan aktivitas dari tiap gender. Dalam hal itu, orang-orang Jawa memandang rumah-rumah mereka sebagai mikrokosmos dari semesta alami, sehingga mereka mencari keseimbangan dalam desain rumah (Frick, 1997; Tjahjono, 1989; Prijotomo, 1992; Himasari, 2011). Konsep dualisme ini menjadi dasar untuk melihat arsitektur Jawa melalui perspektif filosofi. Dalam praktiknya, hal ini berimbas kepada bagaimana urutan, bentuk, dan aktivitas rumah-rumah Jawa dikonstruksi. Rumah menjadi interaksi dialektikal dari hal-hal berlawanan, di mana keseimbangan dijaga melalui pembagian, representasi, dan fungsi spasial.

Pembagian spasial dalam rumah Jawa terdiri dari emper/pringgitan, ndalem, senthong, gadri mburi omah, dan gandhok. Di rumah bangsawan atau orang yang memiliki posisi sosial tinggi, terdapat satu ruang lagi yakni pendopo (Budiana Setiawan, 2010). Setiap ruangan dibuat untuk memenuhi kebutuhan dari pemilik rumah. Dalam arsitektur vernakular Jawa, orang Jawa percaya bahwa kosmos terdiri dari berbagai elemen yang saling berlawanan–surga dan bumi, kiri dan kanan, siang dan malam, terang dan gelap, dan sebagainya. Konsep dualisme menunjukkan keadaan dua bagian, wujud ganda; yang mengacu pada divisi ganda atau sistem pemikiran yang mengakui dua prinsip independen. Oposisi biner antara dua element merupakan konsep penting untuk memahami prinsip kosmologis. Orang Jawa percaya bahwa kosmos terbentuk oleh dualisme-dualisme ini, yang juga merupakan sifat esensial dari budaya Indocina. Biner-biner yang berlawanan ini perlu ditempatkan, diatur secara harmonis dan seimbang, untuk mendapatkan keseimbangan kosmologis. Dalam arsitektur Jawa, dualisme kosmologis ini mengungkapkan metafora dan simbolisme spasial, untuk menjelaskan struktur oposisi dalam lingkungan orang Jawa yang telah terbangun. 

Figure 3. Gendered space in Traditional Javanese Houses (source. Personal Documentation, taken from Joko Nugraho’s house in Kota Gede Yogyakarta 2021)

Ruah terdiri dari elemen berlawanan, misalnya publik-privat, laki-laki-perempuan, dan tuhan-manusia. Dualisme ini diterapkan kepada bagaimana tata letak spasial dikonstruksi. Ruang perempuan merupakan ruang paling rahasia dan privat, sebuah ruang tertutup di mana orang luar dilarang memasukinya. Ruang laki-laki, d lain sisi, merupakan ruang di mana praktik-praktik publik diadakan, ruang yang terang dan terbuka di mana orang luar diizinkan untuk masuk. Seperti telah dibahas di atas, keseimbangan antara elemen-elemen yang berlawanan dapat dicapai dengan keberadaan suatu pusat. Seluruh rumah Jawa memiliki senthong tengah (di rumah biasa) atau krobongan (di rumah bangsawan). Sentralitas ini dapat dipahami melalui perspektif tuhan/manusia. Di dalam ruang, ide “sentralitas” terejawantahkan sebagai penghubung, harmonisasi, atau penyatu antara dua konsep berlawanan. Saat kedua konsep ini digabungkan, maka akan berkembang menjadi konsep realitas alami yang terdiri dari tiga hal, seperti kelahiran-kehidupan-kematian, penciptaan-pemeliharaan-penghancuran, dunia di atas dunia manusia dan dunia di bawahnya, dan lainnya (Gunawan Tjahjono, 1990).

Pawon in Javanese House

Penataan ruang pada rumah-rumah Jawa mengikuti gagasan ruang sosial, di mana arsitektur terbentuk berdasarkan produk dan aktivitas sosial yang dilakukan secara individual dan sosial. Gagasan ini tercermin dalam ruang interior, seperti jenis furnitur yang digunakan untuk mengisi fungsi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan penghuninya, termasuk perabotan di dalam pawon. Pengetahuan penataan ruang diturunkan secara turun temurun sehingga menjadi pola dalam masyarakat. Pola ini diinternalisasikan oleh individu dalam bentuk disposisi yang menjadi acuan dalam tindakan. Sedangkan praktik adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka interaksi sosial berdasarkan habitus atau yang disebut dengan struktur objektif (Bourdieu, 1997).

Dalam hal ini, tata ruang pada rumah-rumah Jawa merupakan manifestasi dari struktur sosial masyarakat Jawa yang mengikuti struktur patriarki. Di dalam rumah, ruang dibagi menjadi area laki-laki dan perempuan. Atas praktik ini, rumah menjadi artefak budaya, di mana nilai budaya tercermin dalam ruang sehari-hari. Pada kegiatan rumah tangga, salah satu inti keruangan dalam ruang domestik adalah pawon. Pawon diambil dari kata ‘awu’ yang berarti abu. Pawon digunakan sebagai ruang produksi domestik, kegiatan memasak, menyiapkan makanan, atau konsumsi terjadi di dalam ruang-ruang tersebut. Selain itu, pawon juga merupakan ruang bersama, di mana kegiatan sosial seperti rewangan berlangsung. Rewangan adalah kegiatan sosial, ketika tetangga, kerabat berkumpul untuk memasak dan menyiapkan makanan untuk ritual, keluarga, atau acara budaya apa pun. Tradisi ini melibatkan perempuan dan laki-laki lintas generasi, untuk berkumpul dan menyiapkan makanan bersama. Pawon telah menjadi ruang ‘hub’, untuk memulai kerja sama, menghubungkan pemilik ke dalam ruang sosial. Selain itu, pawon juga digunakan untuk acara kumpul keluarga atau menerima tamu dekat, atau bahkan menjamu tamu di amben besar. Dahulu, para wanita membuat batik atau anyaman bambu di pawon, di waktu senggang setelah selesai memasak. Meski dipersepsikan kotor dan terletak di belakang rumah, pawon memiliki makna ganda, kegiatan privat seperti memasak, menyimpan resep keluarga, tetapi sekaligus ruang yang memungkinkan kolaborasi sosial/publik. Di ruang ini, perempuan memainkan peran penting untuk mengelola alur kerja dan mendapatkan jejaring sosial. Pawon dipersepsikan sebagai ruang aman bagi perempuan, dan memiliki peran strategis dalam kehidupan aktivitas sehari-hari orang Jawa.

Figure 4. Pogo, tungku dan amben di pawon (sumber. dokumentasi pribadi, diambil dari rumah Joko Nugraho di Kota Gede Yogyakarta 2021)

Salah satu ciri paling penting dalam arsitektur pawon yakni tungku. Karena pawon telah menjadi daerah perempuan, para perempuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan tungku dengan berbagai model dan bahan bakar yang ada di lingkungan selama semuanya dengan pertimbangan ekologis. Arsitektur pawon berhubungan erat dengan bagaimana tungku diposisikan dan mensirkulasikan asap ke ruang luar. Pawon dilingkupi dengan banyak ventilasi di tepian antara dinding dan balok atap. Hal ini juga didukung oleh bukaan-bukaan yang mengundang aliran udara dan ventilasi silang (cross ventilation) untuk mengurangi panas ruang. Pawon menggunakan ruang semi-terbuka tanpa batasan tegas pada interiornya. Ide ruang interior ditentukan oleh penataan peralatan memasak. Spasialitas ini mendukung fleksibilitas ruang, di mana ruang tersebut dapat diubah menjadi ruang bersama atau privat. Hal ini tidak mengikuti fungsionalitas kaku seperti pada dapur modern. Sebagian besar ruang pawon memiliki langit-langit yang tinggi, untuk menangkap panas dan meniupkan udara melalui ventilasi dan celah balok atap. Langit-langit tinggi ini juga digunakan untuk mengeringkan hasil panen karena asap tungku naik ke langit-langit tersebut. Detail dinding di pawon/dapur kesemuanya terdiri dari batuan atau anyaman bambu yang dilengkapi dengan pintu dua lapis. Seluruh dinding terlihat hitam/kotor karena jelaga dari tungku. Lantainya yakni tanah, tanpa ubin. Pawon juga biasanya memiliki akses pintu samping dan pintu belakang. Karena fungsi ruang ini adalah untuk meningkatkan interaksi akrab dengan tetangga dan kerabat, mereka biasanya masuk melalui pintu belakang/samping. Pintu-pintu ini digunakan oleh abdi atau aktivitas yang memerlukan muatan berat. Pintu belakang/samping menghubungkan dengan halaman belakang, yang menjadi pusat kegiatan atau ruang komunal beberapa rumah. Lapisan-lapisan ruang ini menunjukkan bagaimana interaksi individu maupun sosial dikonstruksi oleh logika spasial. Pawon, meskipun menjadi ruang tertutup yang gelap, lembab seperti rahim, juga dapat menjadi ruang terbuka, ruang untuk interaksi sosial antara kerabat-kerabat dekat.

Gambar 5. Pawon sebagai ruang komunal bagi perempuan (sumber. dokumentasi pribadi, diambil dari rumah Asnafiah di Kota Gede Yogyakarta 2021)
Gambar 7. Gambaran pembagian ruang pawon, rincian tungku (sumber. dokumentasi pribadi, diambil dari rumah Joko Nugraho di Kota Gede Yogyakarta 2021)

Secara teknis, dengan fungsionalitas ruang, pawon menghasilkan panas dan asap yang merusak struktur bagian rumah lainnya. Inilah alasan mengapa pawon biasanya diposisikan di omah mburi, terpisah dari massa utama rumah. Pemisahan ini memberikan ruang yang berdiri sendiri yang memiliki fleksibilitas lebih untuk mengakses udara terbuka. Oleh karena itu, suhu udara di bagian rumah utama tidak dipengaruhi oleh panas dan asap yang dihasilkan pawon. Perspektif dualisme lainnya yakni pawon menjadi ruang aman bagi perempuan, namun sekaligus menjadi ruang yang paling berbahaya secara teknis. Juga elemen api dan air yang bertemu, di mana aktivitas memasak selalu melibatkan kedua elemen ini. Perempuan yang mengurus pawon memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kedua elemen berlawanan ini, untuk menghembuskan nafas kehidupan ke dalam rumah tangga. 

Dea Widya

Dea Widya

Dea Widya (b. 1987, Blora) adalah seniman yang berbasis di Bandung, Indonesia. Dea Widya lulusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung , dan seringkali mengadopsi pendekatan-pendekatan desain dalam eksperimennya mengenai relasi antara seni dan arsitektur,

yang mana menyingkap sisi-sisi tak terlihat dari arsitektur. Ia memutuskan mengambil kuliah pascasarjana Seni Rupa dan mengeksplorasi konsep ruang ke dalam instalasi, setelah bekerja untuk sebuah lembaga konsultan desain arsitektural dan bergulat untuk menemukan sisi artistik/estetik dari desain arsitektural. Ia banyak bereksplorasi pada karya-karya site spesifik dan mixed media, yang berkaitan dengan isu kota, ruang dan arsitektur. Metode berkaryanya berkaitan dengan riset dan kolaborasi lintas disiplin.

Beberapa karyanya pernah di pamerkan di pameran Power and Other Things, Europalia 2017, Jakarta Biennalle 2015, Artjog 2015 , 2019, South East Asia Triennalle 2016, dan London Design Biennale 2021. Selain berkarya, ia juga mengajar pada salah satu Universitas swasta jurusan Desain Interior, dan melakukan riset yang fokus pada aspek narasi, ingatan dan memori pada ruang.