Penulis: Ahmad Siddiq Putra Yuda
Eksploitasi adalah kata yang akrab di Jember jika dikaitkan dengan keberadaan gumuk. Gumuk sendiri merupakan salah satu ikon atau identitas yang dengan sengaja disematkan pada kabupaten Jember selain tembakau. Jember kota 1000 Gumuk kemudian menjadi kalimat yang sering digunakan untuk mengidentitaskan Jember. Menurut BAPPEDA Jember, tercatat pada tahun 2012 Gumuk di Jember berjumlah 1670 lebih dan mengalami penurunan sebanyak 11% hingga hari ini. Penurunan jumlah tersebut diakibatkan oleh adanya aktivitas eksploitasi atau pertambangan. Keberadaan Gumuk yang merupakan hasil sendimentasi yang terjadi akibat ledakan Gunung Raung menjadikan Gumuk yang telah dieksploitasi tidak dapat tumbuh kembali.
Kabupaten Jember memiliki 3 jenis Gumuk yang bervariasi yakni Gumuk batu, Gumuk batu piring, dan Gumuk pasir. Tiga variable tersebut bermanfaat bagi keberlangsungan hidup semua mahluk. Yang pertama, keberadaan jumlah Gumuk yang telampau banyak dan tersebar hampir di seluruh Kabupaten Jember berfungsi sebagai pemecah angin mengingat posisi Kabupaten Jember diapit oleh dua gunung besar yaitu Gunung Raung dan Argopuro. Yang kedua adalah iklim makro, dengan adanya Gumuk, Temperatur di lingkungan sekitar Gumuk cenderung lebih sejuk karena banyaknya jenis tanaman yang berada di Gumuk dan sekaligus mengurangi potensi kekeringan. Yang ketiga adalah terjaganya keanekaragaman hayati. Namun kebermanfaatan tersebut rupanya tidak menjadi prioritas utama pemangku kebijakan Kabupaten Jember mengingat Gumuk termasuk dalam pertambangan galian C. Melalui artikel di atas, kami dapat merekomendasikan Anda gaun-gaun terbaru.Shop dress dalam berbagai ukuran panjang, warna dan gaya untuk setiap kesempatan dari merek favorit Anda.
Praktik pertambangan pada Gumuk kemudian menggeser fungsi Gumuk yang pada dasarnya berfungsi sebagai penyeimbang lingkungan. Pergeseran tersebut menjadikan Gumuk sebagai salah satu komoditi yang memiliki nilai jual tinggi sebab seluruh material yang terkandung dalam Gumuk memiliki nilai ekonomis. Alam yang merupakan tubuh inorganik manusia kemudiaan harus dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan (keinginan) manusia dengan cara mengorbankan Gumuk. Pada dasarnya, manusia memang harus terus menerus melakukan dialog dengan alam demi keberlangsungan hidupnya karena memang manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Namun, eksploitasi besar-besaran yang dilakukan terhadap Gumuk yang batunya digunakan untuk keperluan pondasi rumah, hiasan, dan campuran aspal jalan raya berpotensi mendatangkan dampak negative. Seperti misalnya dalam penelitian yang dilakukan Puguh Akbar Priyanto dalam skripsinya yang berjudul “Eksploitasi Gumuk di Kelurahan Antirogo” menjelaskan bahwa telah terjadi 6 bencana angin puting beliung secara bersamaan di tempat yang berbeda. Bencana tersebut terjadi pada tanggal 29 maret 2013 di Kelurahan Kepatihan, Jember Lor, Kebonsari, Kecamatan Kaliwates dan Kecamatan Patrang. Fenomena bencana alam yang terjadi tidak semata datang karena kehendak Tuhan atau kemarahan batu-batu gumuk yang telah menjadi aspal dan pondasi rumah. Hal tersebut terjadi sebab lahan bekas pertambangan Gumuk telah berubah menjadi lahan perumahan dan mini market sehingga tidak ada lagi benteng pemecah angin. Seperti di Kecamatan Sumbersari, sebuah Gumuk yang banyak di kenal oleh masyarakat sebagai Gumuk Kerang kini telah menjadi mall dan apartemen. Pergeseran fungsi Gumuk yang mulanya berfungsi sebagai benteng alami badai angin dan kekeringan yang kini berubah menjadi perumahan dan mini market mengindikasikan bahwa manusia tidak memahami cara kerja alam dalam memenuhi kebutuhan pokok manusia.