Penulis: Ahmad Siddiq Putra Yuda
Gumuk Jenggawah merupakan salah satu gumuk yang memiliki ukuran cukup besar jika dibandingkan dengan gumuk-gumuk lain yang rata-rata memiliki tinggi kurang dari 100m. Dengan tinggi melebihi 160m, masyarakat di Kecamatan Jenggawah lebih akrab menyebutnya sebagai gunung. Ia terletak bersampingan dengan alun-alun kecamatan Jenggawah, desa-desa seperti Sruni, Cangkring, Wonojati, Jenggawah, Kertonegoro, Kemuningsari Kidul, Jatisari, dan Jatimulyo yang berada di bawah territorial kecamatan Jenggawah dapat melihat dengan jelas keberadaan gumuk tersebut bahkan dari kecamatan Mumbulsari dan Ambulu. Terdapat dua komplek pemakaman di lereng Gumuk Jenggawah, yakni pemakaman China dan Pribumi. Meskipun memiliki ukuran Gumuk tertinggi di Kecamatan Jenggawah, masyarakat hari ini tidak menjadikan Gumuk Jenggawah sebagai tempat pengeramatan. Masyarakat Jawa lama yang memiliki kecenderungan untuk memakamkan tokoh penting di puncak-puncak tinggi justru memakamkan Bujuk Mareh yang merupakan pembabat pertama Kecamatan Jenggawah di Gumuk kecil yang berada tepat di sisi utara Gumuk Jenggawah. Di Gumuk kecil itu, makam Bujuk Mareh sering didatangi oleh masyarakat untuk melakukan beberapa aktivitas ritual. Hal tersebut menandakan bahwa Masyarakat Jenggawah memiliki cara atau pola tersendiri dalam memposisikan tradisi pengeramatan dalam kultur Jawa.
Terlepas dari bagaimana masyarakat Jenggawah memposisikan lokasi pengeramatan, masyarakat Jenggawah pada tahun 1970 – 1980an memiliki kegiatan koletiv tahunan. Kolektivisme yang mengacu pada orientasi sosial dan filosofis dimana individu menempatkan kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi di ekspresikan dalam bentuk kegiatan bernama Blanggur.
Blanggur adalah kata yang berasal dari bunyi. Ia merupakan gabungan dari bunyi Blang dan Gur yang bunyi tersebut berasal dari ledakan mercon bambu yang berukuran 1,5 meter lebih. Suara blang adalah efek dari ledakan bambu dan gur adalah efek ledakan yang bergema Ketika bambu berukuran 1,5 meter lebih tersebut terpental ke atas sekitar 300 meter. Pada tahun 1970 hingga 1980an masyarakat Jenggawah menggunakan tradisi Blanggur selama satu tahun sekali saat bulan Ramadhan untuk menandakan datangnya saat berbuka. Masyarakat berbondong-bondong duduk di pematang sawah bersama semua keluarga dengan membawa makanan dan minuman untuk menunggu momen suara ledakan yang teramat kencang bernama Blanggur disertai sepotong bambu terpental di atas Gumuk Jenggawah yang tinggi. Saat gema ledakan Blanggur mulai menipis, masyarakat akan menengadahkan tangan ke langit. Doa dan puji syukur melantun dari mulut masyarakat sebelum akhirnya mereka menyantap makanan di bawah Blanggur dan Gumuk Jenggawah. Pada akhir tahun 1980an tradisi Blanggur mulai ditinggalkan karena masyarakat dapat menandai datangnya waktu berbuka puasa dengan tekhnologi radio.
Blanggur merupakan salah satu penanda bahwa keberadaan Gumuk memiliki andil besar dalam pembentukan tradisi masyarakat. Pemanfaatan topografi Gumuk rupanya tidak hanya berhenti pada pembentukan suatu tradisi saja melainkan juga pada sektor ekonomi dan wisata. Hari ini, di Gumuk Jenggawah terdapat sebuah wahana Ofroad yang disertai dengan berdirinya sebuah café di bagian bawah Gumuk. Keberadaan wahana Ofroad kemudian juga turut merubah bentuk Gumuk Jenggawah yang seluruh tubuhnya ditumbuhi pepohonan dan semak belukar menjadi botak di beberapa bagian untuk kepentingan track atau jalannya wahana Ofroad. Fenomena pemanfaatan topografi untuk kepentingan ekonomi dan wisata tersebut memiliki kesamaan dengan Ski and hiking Area Aineck Katschberg di Austria.