Sunarti adalah salah satu eks-TKW klampisan yang mementingkan pendidikan anak. Menurut suaminya, biaya pendidikan yang mahal menjadi alasan utama mereka belum memiliki rumah hingga saat ini.
Pengalaman pertama Narti menjadi TKW di negara Yordania: pernah dilempari botol, dipukul, hingga ditelanjangi majikan perempuan karena dituduh mencuri cincin emas.
Negara berikutnya tempat Narti bekerja adalah Taiwan. Ia bekerja di kuil, mengurus seorang biksu tua perempuan. Dari Buddhisme, ia belajar banyak tentang toleransi dan menjadi seorang vegetarian.
Kisah Narti di dua negara tersebut memunculkan situasi paradoks. Kekerasan dan toleransi menjadi dua fenomena yang saling dipantulkan dalam performance rekonstruksi kejadian perkara.
Titik adalah salah satu representasi perempuan Jawa yang hidup dalam kultur mengabdi pada agama dan suami. Saat berusia 19 tahun, ia pernah bekerja sebagai pekerja domestik migran di kota Al Qassim, Arab Saudi selama 2,5 tahun. Kemampuan linguistik dan kebiasaan mengaji Al-Qur’an membuat ia cepat menguasai bahasa Arab.
Ia pernah satu kali ditarik majikannya ke dalam kamar dan mendapatkan kejadian yang traumatis. Meskipun ia berhasil menolak dan menghindar, namun tetap membuat Titik trauma berat selama beberapa tahun. Ia mengurung diri, kerja tidak fokus, membayangkan hukuman rajam, sering menghindar dan tidak mau bersalaman dengan laki-laki. Yang membuat Titik semakin kalut adalah banyak TKW Indonesia pada saat itu yang pulang dengan keadaan hamil.
Instalasi besi, kebab, sandwich, dan daging kambing, adalah simbol kuasa yang kami hadirkan sebagai intervensi antara chaosnya kultur, agama, dan kekuasaan.
Catatan:
Sebelumnya, kami telah membuat naskah dengan memunculkan serangkaian metafora untuk meredam bahasa verbal dari peristiwa pelecehan dan kekerasan. Namun saat naskah bertemu dengan Titik yang bertindak sebagai performer, peristiwa menjadi tidak relevan antara tubuh Titik dan bahasa dalam naskah. Titik lebih nyaman bercerita secara langsung dengan bahasanya sendiri, tanpa naskah. Akhirnya setelah negosiasi dilakukan, kami mengubah modus pertunjukan menjadi kesaksian Titik sebagai jalan melepaskan trauma.
Sumarnik, seorang single parent yang ditinggal suaminya ke Malaysia. Ia bersikeras menjadi TKW agar bisa membeli rumah dan menghidupi anak-anaknya.
Selama 8 tahun bekerja di Singapura, Sumarnik sempat merawat seorang kakek tua yang uzur dan demensia. Ia biasa memanggilnya Akong. Ada hubungan cinta-benci yang aneh antara Sumarnik dan Akong.
Akong seringkali memukulinya. Tetapi tak berapa lama, ia meminta maaf sambil membelai rambut Sumarnik. Akong tidak ingin Sumarnik meninggalkannya.
Sumarnik menganggap Akong seperti orang tuanya sendiri. Ia bercerita bahwa makanan favorit Akong adalah bubur ayam. Akong dan bubur ayam adalah kenangan atas hubungan cinta-benci yang terus melekat dalam ingatan Sumarnik setelah ia pulang dan membeli rumah di Klampisan.
Performance menggunakan dramaturgi kendurenan dengan serangkaian jukstaposisi; menu makanan kendurenan menjadi bubur ayam Akong, pranatacara membuka kendurenan dengan narasi tentang Sumarnik dan Akong, serta pembacaan doa dalam kendurenan menjadi pembacaan responsi publik Klampisan tentang narasi Sumarnik dan Akong.
Mak Mi, merupakan mertua Titik yang bekerja sebagai TKW di Singapura selama kurang lebih 10 tahun. Mak Mi datang ke Singapura dan langsung dipekerjakan mengurus Haziq, anak majikan berusia 2 bulan yang cacat fisik sejak lahir.
Fase awal bekerja adalah masa yang berat buat Mak Mi. Ia sering diperlakukan kasar oleh majikan perempuan. Makanan sehari-harinya adalah umpatan yang dilontarkan majikan, “stupid dangdang!”
Kemampuan dan kesabaran Mak Mi dalam mengasuh, dibuktikan dengan kesetiaannya merawat dan menemani serangkaian operasi bibir dan rahang Haziq. Mak Mi mengasuhnya sampai ia berusia 10 tahun. Merawat Haziq selama itu, membuat 3 kain jarik betul-betul rusak. Banyak momen terkenang yang diabadikan melalui foto, pakaian, dan ingatan.
Studio Klampisan mengemas performance ini dengan dramaturgi tur arsip, benda, dan ingatan. Tur diperlakukan sebagai jembatan: masa lalu dan hari ini; Haziq, suami Mak Mi, dan cucu Mak Mi; dalam narasi kesetiaan dan kesabaran Mak Mi atas seseorang yang dicintainya.
Siti Komariah (Kokom) adalah salah satu TKW muda Klampisan yang pernah bekerja di Taiwan. Dia termasuk pekerja migran perempuan Indonesia yang cukup berani melapor ke agensi dan meminta keluar jika medapatkan hal tidak sesuai (perlakuan dan pekerjaan) dari majikan. Bahkan, ia sampai pada tahap mengajukan hari libur tambahan, dan itu disetujui majikan karena kerja Kokom yang cakap.
Ia pernah mengurus seorang nenek yang gaul dan modis. Hubungan Kokom dengan nenek seperti sahabat tanpa urat malu. Mereka bisa saling bertukar pakaian untuk selfie, merias wajah, wisata kuliner, dan joget DJ Remix bersama.
Setiap pagi, Kokom harus mengantar nenek terapi ke rumah sakit. Namun beberapa kali usai terapi, Nenek menyuruh Kokom naik kursi roda dan nenek yang mendorongnya. Momen keakraban mereka terdokumentasikan di facebook Kokom.
Site-specific performance ini dibangun dengan memindahkan beberapa ingatan dan kenangan kemudian dipantulkan dengan kenyataan Kokom hari ini – yang telah bersuami dan memiliki anak serta tinggal di rumah milik bos meuble tempat suaminya bekerja.
Bagaimana tubuh mantan “diva” Taiwan dipertemukan dengan ruang workshop meuble?
Ponikem pernah menjadi pekerja domestik migran di Hongkong. Narasi performance akan berangkat dari kisah Ponikem saat bekerja di rumah majikan yang memiliki 4 anjing dan 9 kucing. Majikan Ponikem, sepasang suami istri memilih tidak memiliki anak, tetapi hewan peliharaan. Mereka merawat anjing dengan cara teratur dan biaya yang mahal.
Pada saat pertama kali bekerja, majikan kaget karena anjingnya langsung jinak dengan Ponikem. Hal ini dilatari oleh suami Ponikem yang memiliki kurang lebih 10 anjing liar di rumahnya. Saat suami pergi ke hutan, anjing-anjing seperti bodyguardnya. Sehingga Ponikem terbiasa melihat dan mengurus anjing – meskipun itu anjing liar dan tanpa cara merawat yang mahal.
Singkat cerita, anjing-anjing di rumah Ponikem dibunuh dan dijual oleh suaminya ke rumah makan anjing. Pada era itu (awal tahun 2000), 1 anjing dihargai 100 ribu rupiah oleh rumah makan.
Performance berangkat dari sudut pandang anak Ponikem yang ingin menebus dosa ayahnya karena telah membunuh dan menjual anjing liar di masa lalu. Dia dan ibunya berupaya menjinakkan anjing liar di area Klampisan – memberi makan dan minum, memandikan, hingga mengajak bermain berdasarkan pengetahuan yang dimiliki Ponikem dari pengalamannya merawat anjing majikan. Performance ini meminjam pendekatan reality show dengan motif menyelesaikan task penebusan dosa.
Rusmini adalah salah satu contoh TKW yang berangkat sebelum era reformasi Indonesia. Meski hanya lulusan SMP, ia memiliki kegigihan belajar bahasa Inggris sehingga berhasil menjadi TKW di Brunei Darussalam sampai Inggris!
Rusmini bekerja sebagai pekerja domestik di rumah salah satu staff kerajaan Brunei Darussalam. Ia bekerja di rumah mewah bersama 4 pekerja domestik dari berbagai negara lainnya. Rumah dengan 2 ruang makan dan bias-bias kultur kerajaan, membuat Rusmini memahami table manner. Tak jarang ia mendapatkan social privilege dan kesempatan mengikuti pesta di istana kerajaan Brunei.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan beberapa kali, kami melihat obsesi Rusmini yang besar terhadap negara-negara maju. Keinginan dia kembali ke luar negeri terutama Yunani, Jerman, dan Inggris kuat sekali. Hanya saja dia belum memutuskan untuk berangkat karena terhambat oleh izin suaminya.
Obsesi Rusmini muncul dalam narasi tentang lifestyle – fashion, pop culture, dan kesejahteraan kota. Untuk merespons hasratnya atas modernisasi, kami memilih dramaturgi gameshow dadakan dalam performance ini.